KEPETINGAN POLITIK DAN SOSIAL BUDAYA

 Selain alasan di atas, terdapat beberapa sebab lain mengapa generasi muda di Papua lebih banyak yang dipenuhi semangat revolusioner. Salah satunya adalah ekses dari propaganda-propaganda tidak bertanggung jawab yang membuat banyak masyarakat Papua tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Maksudnya adalah, oleh karena kebencian terhadap pemerintah yang terus-menerus disampaikan, mayoritas waktu mereka hanya mengenal semangat untuk memerdekaan Papua. Mereka jadi kurang terbuka dengan pemikiran atau ide lain. Akhirnya, mereka tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan warga pendatang. 


Belum lagi salah satu masalah sosial-budaya di Papua adalah kemalasan sebagian orang. Orang-orang ini merasa bahwa Papua adalah tanah mereka yang kaya dan akan menyediakan semua kebutuhan mereka sehari-hari. Tentunya konsep berpikir ini tidak tepat karena tanpa bekerja dan berusaha, seseorang tidak akan bisa maju. Apalagi, kaum pendatang semakin banyak dan mereka sangat gigih bekerja, sehingga perlahan mulai menyingkirkan Orang Papua Asli (OAP), khususnya kesempatan mereka mencari nafkah.


Sebagai contoh, saat ini banyak pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Papua diisi oleh warga pendatang. Orang Papua sendiri lebih banyak mendapat kerja-kerja kasar, seperti kuli atau tukang parkir. Lebih banyak malah hanya mabuk-mabukan tanpa kerja yang jelas. Orang Papua kalah bersaing secara ekonomi. Jika ini yang terjadi, wajar jika semangat merdeka menjadi tinggi karena mereka praktis tidak banyak memiliki harapan. Ditakutkan konflik OAP dengan warga pendatang bisa saja terjadi, seperti yang pernah terjadi di Wamena beberapa bulan lalu.


Faktor lain yang membuat banyak generasi muda Papua, termasuk generasi-generasi di atasnya, adalah faktor politik. Era reformasi membuat kontestasi politik semakin terbuka dengan adanya pemilu dan pilkada diselenggarakan secara langsung. Kondisi ini membuat semakin banyak orang Papua yang tertarik mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Tanpa modal yang cukup, baik secara finansial maupun kualitas, mereka merasa yakin dapat memenangkan pertarungan politik tersebut. Sayangnya kekurangmatangan dalam berpolitik, serta ketidakmampuan mereka dari sisi kualitas maupun isi tas, membuat banyak dari orang-orang ini akhirnya gagal. 


Penyebab kegagalan ini ditumpahkan kepada pemerintah dengan alasan yang mengada-ada. Sakit hati mereka akhirnya disalurkan kepada dukungan bagi Kelompok Separatis Papua (KSP). Karena tidak mampu menjadi pejabat, maka mereka secara pragmatis memutuskan untuk mendukung kemerdekaan Papua dengan harapan suatu saat nanti bisa menjabat. 


Kepentingan pribadi atau golongan macam ini yang cukup sering menghinggapi pola pikir generasi muda di Papua. Barisan sakit hati ini bukan ingin Papua merdeka, tetapi memiliki agenda sendiri untuk menjadi pejabat jika Papua sudah merdeka nanti. Hal ini yang membuat mereka menjadi revolusioner, padahal sebenarnya reaksioner.


Faktor sosial budaya terakhir yang menjadi penyebab adalah banyaknya dibangun Masjid di Papua oleh warga pendatang. Warga pendatang yang mayoritas beragama Muslim, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menguasai sektor ekonomi di Papua. Dengan demikian, Masjid-Masjid yang mereka dirikan pun kuantitasnya banyak dan kualitasnya sangat baik, bahkan beberapa sangat megah. Kondisi ini membuat kecemburuan dan iri hati diantara warga Papua, yang mayoritas non-Muslim.


Rasa cemburu, iri hati, serta ketidakadilan ini kemudian memenuhi benak mereka sehingga menghubung-hubungkan Masjid dengan agama mayoritas di Indonesia. Atas dasar itulah, semangat revolusioner berkobar di kalangan generasi muda Papua. Perlu diingat juga, generasi ini juga terdampak situasi ekonomi yang tidak menguntungkan bagi mereka di Papua. Banyak anak-anak muda di Papua yang kalah bersaing karena faktor-faktor yang penulis sudah jelaskan di atas, sehingga mereka mudah sekali terpicu oleh isu-isu separatisme, yang bisa saja berujung pada konflik dan kekerasan struktural. 


Menurut Banyu Perwita, kekerasan struktural adalah kekerasan yang terjadi secara non-verbal, seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, dan pengasingan sosial yang menyebabkan penderitaan mendalam bagi seseorang. Kekerasan ini jika dbiarkan akan berujung pada kekerasan langsung. Kekerasan langsung adalah segala macam bentuk kekerasan dalam bentuk verbal yang mengakibatkan luka fisik dan penderitaan yang dalam bagi seseorang. Perang dan konflik bersenjata yang mengakibatkan hilangnya nyawa adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan bentuk dari kekerasan langsung (Perwita & Sabban, 2015).


Oleh karena fakta-fakta di atas, generasi muda Papua perlu dimodernisasi sesuai tuntutan zaman masa kini dan masa kedepan dengan pendekatan berbagai kajian keilmuan dan nilai-nilai modern. Kedepan, generasi muda Papua perlu dikirim ke berbagai universitas agar mereka akrab dengan teori-teori revolusi dan perubahan sosial yang terjadi di berbagai negara yang berhasil memajukan masyarakatnya. Dengan pendekatan sosial perubahan masa kini tekanan lebih pada revolusi intelektual dipadukan dengan nilai-nilai damai Papua sendiri dan nilai damai universal didukung internasional sebagaimana hal itu juga sepenuhnya didukung tokoh-tokoh agama di sana. 


Kesimpulannya, pendidikan memang sangat penting di Papua. Beruntung, sejak UU Otonomi Khusus tahun 2001 pemerintah selalu memberi perhatian terhadap sektor ini. Dana yang diberikan kepada Papua (termasuk Papua Barat) selama ini pun mencapai angka 126.99 Triliun, di mana dana untuk pendidikan termasuk di dalamnya (Kompas, 2020). Itulah mengapa Otsus yang tahun depan akan berakhir sesuai perintah UU tersebut, perlu untuk dievaluasi dan diperpanjang. Evaluasi khususnya untuk dana pendidikan agar ditambah pengalokasiannya, serta target sasarannya dijaga betul agar tidak ada penyelewengan. 


Terakhir, konflik akan selalu ada di setiap peradaban manusia manapun, dan tidak akan pernah selesai. Eksistensi manusia sangat bergantung pada kemampuannya mengelola konflik. Untuk bisa mengelola, sampai meresolusi konflik, maka fokus perhatian harus diarahkan pada analisa perilaku manusia dan lingkungannya (Indrawan, 2019). Perilaku orang-orang seperti Bazoka Logo dan anak-anak muda Papua lainnya yang terhasut isu separatisme memang harus menjadi perhatian kita bersama. Bukan karena revolusioner maka harus dihilangkan, namun diarahkan agar mereka dapat kembali ke jalan yang benar.









Komentar